Misteri Gerbang Majapahit

Liputan6.com,Meski pusat Kerajaan Majapahit terletak di Mojokerto, Jawa Timur, namun Kabupaten Pati, Jawa Tengah menyimpan satu objek wisata andalan, yakni bekas pintu gerbang Kerajaan Majapahit. Pemerintah daerah setempat berhasil menjadikan peninggalan bersejarah di Desa Muktiharjo, Kecamatan Margorejo atau empat kilometer arah barat laut Kota Pati itu sebagai salah objek wisata andalan untuk pemasukan daerah belakangan ini.

Baca pos ini lebih lanjut

Riwayat Sendang Sani…

Desa Sani tidak begitu dikenal oleh masyarakat kebanyakan. Walaupun begitu Desa Sani mempunyai kenangan tersendiri yang tidak mudah dilupakan oleh penduduknya. Desa Sani sebenarnya berasal dari sebuah sendang yang ditempati oleh seekor bulus, penjelmaan dari seorang abdi Sunan Bonang.

Pada Zaman dahulu, khususnya di Jawa, banyak berdiri kerajaan-kerajaan Islam. Khususnya kerajaan Demak yang didirikan oleh Raden Patah. Di Demak terkenallah para wali yang giat menyebarkan agama islam. Para Wali itu berjumlah sembilan orang dengan sebutan “Wali Songo”. Di antara kesembilan wali itu terdapatlah seorang wali bernama Sunan Bonang.

Baca pos ini lebih lanjut

Sepotong Kisah Hotel Pati

Ternyata selain sebagai hotel pertama di Kabupaten Pati, tempat penginapan ini juga menyimpan sejarah bangsa melawan penjajah Belanda. Adalah Hotel Pati yang saat ini masih megah berdiri di Jl.P. Sudirman, ternyata menjadi saksi perjuangan kaum muda di masa agresi militer Belanda pasca kemerdekaan.
Pada awal berdirinya pada 1926, hotel ini hanya menyediakan 5 kamar berukuran 5x6m. Sang pemilik, Tan Shi ging atau akrab disapa Mr.Tan mendirikan penginapan untuk membantu para rekan dagangnya dari berbagai negeri ketika berbisnis di Indonesia. Kala itu, Mr. Tan memberi nama tempat penginapannya Pati Hotel yang merupakan satu-satunya hotel di pinggir Jl.Herman Willem Daendeles (sekarang Jl. P. Sudirman). H.W Daendeles dikenal sebagai Gub. Jend. Belanda yang membangun jalan raya mulai anyer samoai ke Panarukan yang saat ini disebut Jl. Pantura.

Baca pos ini lebih lanjut

Sosok Saridin

SIAPA sebenarnya Saridin itu? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, warga Pati dan sekitarnya mungkin bisa membaca buku Babad Tanah Jawa yang hidup sekitar awal abad ke-16. Sebab, menurut cerita tutur tinular yang hingga sekarang masih diyakini kebenarannya oleh masyarakat setempat, dia disebut-sebut putra salah seorang Wali Sanga, yaitu Sunan Muria dari istri bernama Dewi Samaran.

Siapa wanita itu dan mengapa seorang bayi laki-laki bernama Saridin harus dilarung ke kali? Konon cerita tutur tinular itulah yang akhirnya menjadi pakem dan diangkat dalam cerita terpopuler grup ketoprak di Pati, Sri Kencono. Cerita babad itu menyebutkan, bayi tersebut memang bukan darah daging Sang Sunan dengan istrinya, Dewi Samaran.

Terlepas sejauh mana kebenaran cerita itu, dalam waktu perjalanan cukup panjang muncul tokoh Branjung di Desa Miyono yang menyelamatkan dan merawat bayi Saridin hingga beranjak dewasa dan mengakuinya sebagai saudaranya. Cerita pun merebak. Ketika masa mudanya, Saridin memang suka hidup mblayang (berpetualang) sampai bertemu dengan Syeh Malaya yang dia akui sebagai guru sejati.

Syeh Malaya itu tak lain adalah Sunan Kalijaga. Kembali ke Miyono, Saridin disebutkan telah menikah dengan seorang wanita yang hingga sekarang masyarakat lebih mengenal sebutan ”Mbokne (ibunya) Momok” dan dari hasil perkawinan tersebut lahir seorang anak laki-laki yang diberi nama Momok.

Sampai pada suatu ketika antara Saridin dan Branjung harus bagi waris atas satu-satunya pohon durian yang tumbuh dan sedang berbuah lebat. Bagi waris tersebut menghasilkan kesepakatan, Saridin berhak mendapatkan buah durian yang jatuh pada malam hari, dan Branjung dapat buah durian yang jatuh pada siang hari.

Baca pos ini lebih lanjut

Selayang Pandang Kota Pati….

Pati yang sekarang dahulunya dikenal dengan Kadipaten Pesantenan yang semula berpusat di desa kemiri dan adipati nya merubah gelar dari Adipati Raden Kembangjoyo menjadi Adipati Jayakusuma.Setelah Adipati Jayakusuma wafat dan digantikan dengan putra tunggalnya Raden Tambra yang bergelar Adipati Tambranegara. Di jaman pemerintahan Adipati Tambranegara kadipaten Pesantenan dikenang dengan penuh ketenangan,kedamaian dan kesejahteraan, Adipati Tambranegara mengganti dengan nama Kadipaten Pati dan juga memindahkan pusat pemerintahan dari desa Kemiri ke desa Kaborongan sekitar bulan Juli dan Agustus 1323 dan moment tersebut dijadikan hari jadi Kota Pati, 7 Agustus 1323.

Baca pos ini lebih lanjut